MONOLOG PINGGIR TROTOAR: “KENAPA GUE DAFTAR FOMOTOTO?”

Monolog Pinggir Trotoar: “Kenapa Gue Daftar Fomototo?”

Monolog Pinggir Trotoar: “Kenapa Gue Daftar Fomototo?”

Blog Article

(Lampu sorot menyala. Seorang pria berdiri sendiri di tengah keramaian kota. Di tangannya, HP retak, sinyal satu bar. Bajunya lusuh, tapi matanya hidup.)


PRIA:
Hai.
Namaku... ya, siapa aja boleh.
Tapi malam ini, gue bukan siapa-siapa.
Gue cuma orang yang tadi baru aja daftar Fomototo.

Iya, Fomototo.
Yang lo pikir cuma game receh.
Puzzle. Klik-klik. Hadiah kecil.

Tapi buat gue...
itu pengingat
bahwa gue masih bisa merasa menang
di tengah hidup yang isinya kalah mulu.


PRIA:
Lo tahu gak rasanya?
Gaji UMR. Harga bensin naik.
Mau healing tapi ongkos TransJakarta aja mikir.
Beli kopi kekinian?
Cuma bisa foto gelasnya temen.

Dan di saat semua orang pamer pencapaian,
gue?
Gue cuma pengin satu momen kecil
di mana gue bisa bilang:

“Gue bisa. Gue bener juga ternyata.”

Itu... yang gue temuin waktu daftar Fomototo.


PRIA:
Orang bilang, “Ngapain sih main beginian?”
Katanya buang waktu.
Katanya harapan palsu.

Tapi apa hidup kita yang lain-lain itu bukan harapan palsu juga?

Kuliah mahal biar jadi apa?
Scroll media sosial buat apa?
Ngikutin trend biar dibilang keren?

Kadang... yang paling jujur
itu justru yang paling sederhana.

Kayak game kecil yang gak pernah maksa lo jadi siapa-siapa.


PRIA:
Gue daftar Fomototo bukan buat kaya.
Gue daftar...
karena itu satu-satunya tempat
di mana gue gak dibandingin.

Gak ada ranking.
Gak ada KPI.
Gak ada penilaian dari bos, mantan, atau mertua.

Cuma skor. Dan gue.
Main.
Salah.
Coba lagi.
Menang.
Tertawa.
Kalah.
Coba lagi.

Kayak hidup... tapi lebih ramah.


(Lampu perlahan meredup. Suara kendaraan masih riuh. PRIA tersenyum kecil, menatap layar HP-nya, lalu duduk di trotoar sambil main puzzle.)


EPILOG:
Kalau lo capek hari ini,
dan dunia terlalu banyak nuntut,
coba deh...
daftar Fomototo.

Mungkin gak ngubah nasib lo sekarang.
Tapi siapa tahu,
itu awal lo buat mulai senyum lagi.


???? Catatan: Monolog ini hanya fiksi. Tapi rasa capeknya? Mungkin kamu juga pernah ngerasain.

Report this page